“There is no logic that can be superimposed on the city; people make it and it is to them, not buildings, that we must fit our plans” –Prof. Jane Jacobs
Eh, kabar terbaru, sedang
dibangun taman baru di jantung kota ya? Prok-prok! Selamat untuk Kudus yang
semakin dekoratif! *nyanyi hymne guru #nahlho
Pembangunan-pembangunan semacam itu, keputusannya tentu bukan asal ‘dor’ kan. Pasti idenya tergulir dari orasi-orasi ilmiah, melewati diskusi panjang semalaman, digodog dulu dengan menyesuaikan lokasi target, dan semua itu backlink-nya adalah riset.
Riset adalah leluhur pembangunan.
Iseng saja saya tanya Google kota mana yang
paling kaya budayanya. Yang keluar pasti sudah bisa ditebak: Solo, Jogja,
Bandung, Madura. Iseng lagi saya ketik kota mana yang sudah berbasis teknologi.
Keluarnya: Jakarta, Pekalongan. Iseng lagi, kota mana yang paling aman:
Semarang, Solo, Bandung, Jogja. Eh, dari tadi Kudus nggak nyangkut ya?
Terakhir saya tanya apa yang menjadikan kota-kota
tersebut bisa masuk list berulang kali. Ternyata jawabnya: Riset. Yap! Kota-kota
tersebut dibangun berdasarkan hasil olah-banding dengan kota-kota maju di
tempat lain. Mulai dari perencanaan ruang (spatial planning), pengelolaan kota (urban management), hingga saat ini muncul konsep smart
city yang memanfaatkan ICT (information and communication technology).
Wah-wah, Kudus sudah di kilometer berapa nih?
Setelah dipikir-pikir
ternyata wajar saja. Jika ingin membuat cerita yang kuat, seorang penulis harus
melakukan riset dulu tentang tema yang akan diangkat. Jika ingin membuat gambar
yang deep-feeling, seorang pelukis harus melakukan riset dulu untuk
menemukan detil yang pas. Begitu juga dengan ketika sebuah kota ingin maju,
harus ada riset dulu…
Kebutuhan riset ini
bukan hanya untuk memenuhi hajat ‘dandan’ berayu diri. Tapi juga untuk
menyeimbangkan proporsi jumlah penduduk belasan tahun ke depan. Bayangkan ketika
pertumbuhan penduduk bertambah sementara luas wilayah Kudus tidak bertambah. Tentu
akan menimbulkan masalah infrastruktur, air bersih, transportasi, dan keterbatasan
sumber energi. Jika sudah demikian, tentu akan berimbas pada masalah-masalah
lainnya dan memunculkan efek domino seperti kemiskinan, pengangguran, kriminalitas,
slum area (kekumuhan). Riset bisa memperkecil efek itu, bila pembangunan
datang tepat waktu.
Saya yakin ada tim
riset di Kudus meskipun saya tidak tahu (emang lo siapa -_-). Semenjak beberapa
tahun terakhir telah nampak banyak produk dari riset itu sendiri. Yang paling
anget adalah pembuatan taman di alun-alun simpang tujuh. Ide ini sempat menuai
komentar negatif, tetapi sebagai warga yang percaya pada pemkab, saya yakin hal
ini sudah dibicarakan matang-matang dengan riset yang nggak main-main pula.
Riset tak melulu soal infrastruktur
Selain fisik, ada
banyak hal lainnya lho di Kudus yang perlu diruwat. Pendidikan, kesehatan, dan
yang selama ini mendapat porsi riset sangat minim: Budaya. Seperti yang saya
singgung di atas, Kudus belum dilihat sebagai kota kaya budaya. Padahal siapa
sih yang hafal jumlah budaya di Kudus?
Dilihat dari luas
wilayah yang kecil, Kudus padat budaya. Nyaris di tiap sudut, Kudus memiliki nilai
historis yang beberapa kemudian tumbuh sebagai budaya. Namun beberapa lainnya
mulai dilupakan. Misal saja, Masjid Bubrah. Seharusnya bangunan tersebut masuk
menjadi benda cagar budaya yang dilindungi, tetapi seperti yang kita lihat
sekarang pemugarannya masih setengah-setengah.
Begitupun dengan produk-produk budaya lainnya. Kuliner misalnya, wedang pejuh masih jarang ditemui. Padahal itu juga asli Kudus. (saya saja baru denger sekarang #plak)
Banyak juga hal-hal
lain yang saya bahkan lupa (wks!). Semua itu butuh diriset, kemudian dipugar
apa yang semestinya dipugar. Dikembangkan apa yang semestinya dikembangkan. Agar
dunia luar tahu ada kota yang layak masuk kategori kaya budaya.
Dalam hal ini,
pemkab juga bisa menggandeng tim riset perguruan tinggi di Kudus. Lumayan banyak
kan, ada STAIN Kudus, Universitas Muria Kudus, STIKES Cendekia Utama, STIKES Muhammadiyah,
dan Akbid Mardirahayu. Seiring perkembangan zaman, permasalahan kota akan
semakin merebak. Lembaga-lembaga perguruan tinggi tersebut sesuai disiplin ilmu
maupun secara interdisiplin ilmunya bisa diharapkan sumbangan risetnya untuk menjawab
tantangan zaman maupun mengembangkan keutuhan Kudus kota maju dan berbudaya.
Yuk budayakan riset
Selain tim riset
resmi, kamu para sedulur bisa kok memanfaatkan teknologi dengan membuat riset
pribadi. Misalnya setelah jalan-jalan ke luar kota, lalu memberi masukan
seandainya Kudus dibangun museum budaya keren dong. Atau habis jalan-jalan ke Jepang,
kemudian terbersit, seandainya Kudus mempunyai jalan khusus pejalan kaki dan
sepeda dengan pohon di kanan-kiri seperti ini pasti indah. Anggap saja itu
bukti kamu bersedia sukarela menjadi wadah pemikir (think thank)
pemerintah.
Riset tersebut bisa
diposting di sosmed. Misalnya kompasiana, kaskus, atau forum apapun yang memancing
diskusi. Itu bakal terlihat bagus untuk pertumbuhan kota kita. Dengan kondisi
Kudus yang selalu dipandang sebelah mata karena bukan termasuk kota besar,
aktivitas riset kecil kamu bisa menyumbang masa depan Kudus yang lebih
menjanjikan.
0 comments :
Post a Comment